Taganing Batak Bona Ni Ogung
Menggarap ulang musik lokal dengan perspektif baru, menjadi peluang untuk mengabadikan potensi kualitas dan kekayaan kebudayaan.
Jeffar Lumban Gaol (43) adalah salah satu pemusik Batak dari hitungan jari satu tangan, yang memberikan penghargaan tinggi terhadap kekayaan musik leluhurnya, Suku Batak. Dengan rombongan Bona Ni Ogung, yang memainkan tiga set taganing, suling/sarune, kecapi, dan ogung, ia berhasil menunjukkan pada dunia internasional bahwa musik Batak memiliki kekayaan instrumen, komposisi, serta warna bunyi yang khas. “Peluang internasionalnya besar. Bila sepuluh tahun lalu sebuah tambur Afrika begitu digandrungi para pemusik dunia, suatu saat saya berharap taganing juga mejadi tren di dunia musik global,” harap Jeffar ketika berbincang bersama Jurnal Nasional.
Optimisme Jeffar bukan tak berdasar.
Mempelajari musik secara khusus dengan masuk ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 1984, Jeffar merasa beruntung karena mendapatkan para pengajar yang kemudian menjadi dedengkot musik dari IKJ seperti Slamet Abdul Syukur, Arjuna Hutagalung, Rene, dan mendapat bimbingan Sakinahjaya di jurusan perkussi. Di samping mempelajari perkussi secara khusus, ia juga mendapat banyak pelajaran komposisi dari Arjuna Hutagalung yang terkenal memiliki cakrawala musik sangat luas. “Dan IKJ sendiri mempunyai visi berbeda dengan sekolah musik lain apalagi kursus musik,” kata Jeffar.
Di IKJ pulalah Jeffar menyadari kekayaan kebudayaan
Jeffar melepas pemahaman remajanya tentang musik rock sebagai satu-satunya musik yang layak dimainkan. Ia juga mengenali pemetaan, bahwa musik tidak hanya yang diproduksi oleh industri besar (baca: major label), tapi juga tumbuh sebagai gerakan alternatif yang kemudian lebih dikenal sebagai indie label. Di samping berjenis-jenis musik lain, yang tumbuh di komunitas-komunitas kampus ataupun kelompok kerja yang membuka jaringan pergaulan sekaligus penciptaan musik lintas negara. Dari sinilah muncul istilah-istilah world music, contemporary music, modern music, dll. Kategorisasi yang semakin memperjelas jenis-jenis musik unggulan dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari
Di tengah semangat seperti inilah Jeffar tumbuh menjadi seorang pemusik yang mementingkan dinamika, berproses, terus mencari, mengembangkan keterampilan isntrumental, mengasah kedalaman rasa berbagai unsur bunyi, pemahaman musik dan latar budayanya secara filosofis, maupun kemampuan manajemen sebagai seorang music director. Beberapa komposisi eksperimen kemudian ia garap bersama teman-temannya sebagai proses latihan. Dan yang pernah menjadi perhatian publik di antaranya komposisi instalasi musik Gong 12 di Solo.
Instalasi itu berangkat dari konsep 12 yang menjadi misteri bagi para pemusik. 12 nada surrealism, di mana setiap nada dimainkan tidak pernah kembali ke nada dasar, tapi setiap kali pindah. Kenapa harus 12, kenapa tidak 13? Ternyata itulah misterinya. Maka Jeffar pun memainkan instalasi musik Gong 12, 12 jam bermain, 12 pemain, 12 gong, dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore, dengan komposisi dibiarkan terbuka. Dan saat jam 12 siang, ternyata yang terjadi adalah kekosongan bunyi, karena sebagian pemain sembahyang, sebagian capek, atau sebagian makan.
Lalu ia juga mengisi musik sebuah naskah sandiwara Petang di Taman, karya Iwan Simatupang yang disutradarai Ray Sahetapy. Kali ini Jeffar bereksperimen dengan sebuah flute dan teknik recording. Ia tak menyangka flute yang begitu sederhana mampu menampilkan bermacam suasana bunyi yang dibutuhkan pementasan teater yang berlangsung 45 menit tersebut.
Namun yang membuat Jeffar kemudian semakin intens dalam proses berkeseniannya adalah ketika mempersiapkan komposisi musik yang memadukan musik rock dengan gamelan
Panggilan musik leluhur
“Saya masih berpakaian adat
Namun Jeffar tidak menjadikan musik tradisi berhenti begitu saja, seperti yang selama ini dikenal khalayak ramai. Jeffar sudah memperkaya diri dengan berbagai teori komposisi, mempelajari berbagai instrumen, bermain bersama pemusik dengan latar belakang musik suku lain maupun Barat. Ia pun melihat celah-celah yang dapat ia masuki untuk mengembangkan musik Batak lebih jauh. Ia mengadakan penambahan isntrumen logam, seperti ringing bull, bel, dll. Dan terutama, ia membuat sebuah komposisi berdurasi setengah jam. Sebuah perubahan yang tentu saja tidak diterima dengan mudah oleh teman-teman pemusik Bataknya.
Bagi Jeffar, tingkat kerumitan atau kekayaan bunyi taganing Batak sama saja dengan gamelan Jawa atau Bali, interlock, bunyinya saling mengunci, yang juga terdapat di beberapa musik kebudayaan lain, seperti Padang, atau Bugis-Makassar. Namun, berbeda dengan musik Jawa dan Bali yang sudah memiliki harmoni lebih luas, mungkin karena adanya sentuhan pemusik asing menurut Jeffar, musik Jawa dan Bali sudah siap dengan konsep orkestra. Sementara taganing Batak masih berpenampilan tunggal.
Memang ada yang pernah menggagas sebuah orkestra Batak, tapi karena tidak didasari gagasan perubahan, pembaruannya tidak tumbuh. Gagasannya lebih pada proyek, bukan sebagai seniman yang ingin menampilkan musik Batak dalam format orkestra. Dari sisi ini penambahan taganing menjadi tiga set dalam Bona ni Ogung adalah upaya eksplorasi atau sentuhan pembaruan Jeffar atas musik Batak.
Selama
Bona Ni Ogung pun tampil di empat
Lalu, ke mana Bona Ni Ogung kini? Sebagai kelompok pemusik masing-masing sibuk dengan pekerjaannya menyambung hidup. Umumnya masih bergerak di bidang musik. Jeffar sendiri banyak membantu pementasan grup-grup teater atau album-album musik. “Saya tidak mau Bona Ni Ogung hanya akan mengulang-ulang komposisi yang telah direkam itu. Bila ada kesempatan berproduksi lagi, saya mengharapkan kerja sama dengan membuat kreasi baru dari awal. Apa itu untuk sebuah acara atau produksi rekaman,” Jeffar berharap.
Dipublikasikan di Jurnal Nasional, 30 Juli 2006
0 Comments:
Post a Comment
<< Home